March 9, 2015

The Most Kind Hearted Man I've Ever Known

Jadi, saya pernah kenal seseorang. Baik banget.

Definisi baik kan relatif ya. Tapi untuk saya cuma satu : tulus. Dia orangnya tulus banget, melakukan sesuatu beneran karena ingin bantu. Kalau dikasih pamrih atau dipuji dia selalu mengelak. Usianya duapuluhan akhir, lelaki. Senyumnya lebar, kulitnya sawo matang dan gigi depannya besar-besar. Mengingatkan saya pada Hermione Granger, di buku dideskripsikan bahwa giginya besar-besar.

Saking tulusnya, dia selalu menebar kebaikan di sekitarnya sampai lupa pada dirinya sendiri. Aku pun awalnya tidak sadar, tapi lama kelamaan risih.

"Apa ngga cape berbuat baik terus? Kamu sendiri gimana?"
"Aku? Ngga cape kok"

Dasar naif. Sungguh naif dia ini. Usianya sudah hampir tiga puluh, tidak melakukan apapun di hidupnya kecuali berbuat baik kepada semua orang. Saya pun jadi korban kebaikannya. Saya, tidak pernah -atau jarang- peka kepada kebaikan atau kejahatan seseorang. Ngga peduli tepatnya. Namun, suatu hari rekan saya, berkomentar tentang lelaki ini.

"Dia itu kind-hearted banget"
"Maksudnya?", membalas seadanya karena saya tidak peduli
"Ya.. gimana ya...?", da sendiri bingung ditantang seperti itu, "ya tulus, ngga mikirin apa-apa Keliatan kalau dia peduli...".
"Contohnya..."
Berikutnya dia menceritakan perbuatan-perbuatan lelaki itu, yang kebanyakan berkaitan dengan saya. Irama jantung saya waktu itu tidak beraturan, pupil mata membesar.

Sejak saat itu, saya lebih menghargai dia. Yang tadinya agak tidak peduli, segala perbuatannya menjadi lebih berarti.

Sayang, perbuatannya makin menjadi. Dia makin tidak peduli dengan dirinya sendiri. Dan semakin baik. Tujuan hidupnya hanya berbuat baik, karena menurutnya itu menyenangkan. Hei, kamu punya karir untuk dijalani, hidup untuk dinafkahi, hei!! Aku selalu mengingatkan. Yang selalu dijawabnya "iya, santai". Saya geram. Dia sudah berada di zona nyamannya : berbuat baik. Semuanya tidak lagi berarti.

Saya yang disuai kebaikan tiap hari merasa jengah. Merasa sedih karena dia terlalu naif. Saya mengingatkan, dia hanya tersenyum dengan jawaban  yang sama "iya santai". Di sana saya menyerah, melemparkan semua tali yang mengikat. Dibiarkan terjulur tanpa simpul. Saya mundur tiga langkah, mengucapkan selamat tinggal dan semoga sukses.

Kalau ada yang bilang alasan "karena dia terlalu baik" itu lebay, buat saya itu benar terjadi. Terlalu baik.

Sudah lama tidak terdengar. Namun sayup-sayup terdengar dan sekelebat terlihat dia kini berubah. Ada yang dicapai dengan segala bakatnya. Saya turut senang, sungguh. Ada perasaan lega dan gemas.

Semoga sukses, pria baik hati yang naif.

No comments:

Post a Comment